Berilah Kami Kekayaan Supaya ....
Sepanjang ingatannya, mereka sekeluarga belum pernah mengecap keadaan yang berkecukupan. Kebutuhan mereka selalu saja berada selangkah di depan jangkauan keuangan mereka. Dari tahun ke tahun begitu terus, sehingga malam itu ia, sang istri, benar-benar merasa tak tahan lagi menghadapi segala masalah kebutuhan yang kian menggunung.
Ia bosan! Bosan memikirkan uang sekolah anak-anak yang terpaksa ditunggak (untuk ke sekian kalinya) selama beberapa bulan. Ia bosan memikirkan biaya pengobatan yang secara teratur perlu disediakan bagi anak bungsunya yang sakit-sakitan. Ia bosan membantu suaminya di toko kecil yang mereka miliki, karena pendapatan mereka tidak kunjung meningkat, sementara harga-harga melonjak. Dari kebosanan itu kemudian timbul pemberontakan di hatinya.
"Tuhan," serunya, "sampai kapan Engkau akan membiarkan kami menderita begini? Bukankah selama ini kami telah berusaha menuruti segala perintah-Mu? Kami tak pernah absen berbakti, kami selalu berusaha untuk bersaksi, kami sering menyumbang sekalipun kami menyadari bahwa kami sendiri berada dalam kebutuhan. Apa lagi yang Kau kehendaki dari kami? Padahal Engkau menjanjikan bahwa anak-anak-Mu takkan dicobai melebihi kemampuan mereka. Tapi kami, Tuhan, kami sudah terlalu lama menderita! Berilah kami kelepasan. Berilah kami kekayaan, Tuhan, supaya kami boleh bernapas lega!"
Sebuah jeritan yang benar-benar manusiawi, tetapi ternyata didengar dan dikabulkan oleh Yang Ilahi ....
Toko yang dikelola keluarga itu mulai banyak pengunjungnya. Pendapatan mereka bertambah terus. Toko diperluas, dan tak lama kemudian, toko yang kedua dibuka. Keluarga itu pindah dari ruangan belakang toko itu ke sebuah rumah tersendiri yang mereka beli.
Untuk pertama kalinya, sang istri bisa sebebasnya membeli segala perabot rumah tangganya tanpa perlu gelisah memikirkan apa yang akan mereka makan esok harinya. Sungguh, keluarga itu tampak benar-benar diberkati Tuhan.
Sampai sang istri pada suatu hari mulai merasa seakan-akan suaminya sekarang jarang memerhatikan dirinya. Dan mengapa sering kali suaminya pulang larut malam? Mustahil ia terus-menerus sibuk mengurusi perusahaannya sampai seperti tak pernah kenal lelah. Pasti ia juga membutuhkan istirahat dan hiburan. Hiburan? "Night club"? "Hostes"? Ahhh ..., benarkah akan sampai ke situ?
Bukan cuma suaminya yang dirasakannya jarang ada di rumah. Waluyo, putranya yang sulung, sekarang juga sudah gila-gilaan mengebut dengan mobil yang dibelikan ayahnya. Padahal sebentar lagi ia harus menghadapi ujian akhir SMA. Bagaimana kalau ia tidak lulus, padahal persaingan memasuki perguruan tinggi kian tahun bertambah keras? Tapi lebih ngeri daripada ini ialah bila ia membaca surat-surat kabar (kalaupun ia sempat sesekali) yang penuh dengan berita-berita kecelakaan yang membawa maut.
Tapi segala peringatan ataupun bujukan yang diucapkannya, tak pernah digubris oleh Waluyo yang berada pada usia di mana ia menganggap dirinya serbabisa dan serbamampu. Ahhh ..., pusing ia membayangkan kalau-kalau Waluyo juga mengalami kecelakaan lalu lintas.
Shinta lain lagi. Ia sekarang menjadi gadis yang paling populer di sekolah "top" yang murid-muridnya umumnya dari kaum berada. Setiap hari, ada saja acara Shinta dan teman-temannya. Tetapi pada suatu hari, ia menjadi begitu terkejut ketika secara kebetulan mendapatkan sebuah foto cabul di dompet Shinta yang tergeletak jatuh di sofa! Shinta! Apa saja yang dilakukan anak gadisnya bersama teman-temannya itu sampai-sampai Shinta bisa memiliki foto itu? Mungkinkah menghisap ganja juga sudah masuk acara mereka? Ya, Tuhan, jangan, jangan sampai hal itu terjadi!
Hanya Ruri, si bungsu yang dulu penyakitan, tidak banyak dipengaruhi keadaan mereka yang sekarang berlebihan. Cuma anehnya, Ruri menjadi pemurung. Padahal sewaktu ia masih sakit-sakitan ia justru paling keras tawanya. Dan pernah terlepas ucapan lirih dari Ruri, "Ibu, mengapa Bapak dan Ibu begitu sering keluar rumah? Rumah ini jadi sepi ...."
Dan ia cuma terdiam, tak bisa mengingat-ingat lagi berapa banyak kumpulan arisan yang diikutinya karena ia selalu diminta untuk ikut.
Kini, apa yang menjadikan kepalanya terasa nyeri berdenyut-denyut tak henti-hentinya? Memang bukan lagi soal uang dan kebutuhan, tapi suasana rumah tangganya yang semakin lama semakin berantakan. Itulah yang menyusahkannya. Masing-masing anggota keluarganya sekarang seakan-akan sudah memilih jalan sendiri-sendiri. Tiada lagi keakraban dan kemesraan dulu. Dan ahhh ..., sakit kepalanya selalu bertambah menyiksa, terus menyiksa. Malah obat penenang dan seribu satu macam obat-obat lainnya, tak mampu lagi mengusir sakit itu. Sampai pada akhirnya, ketika ia mengerang-ngerang dalam kesunyian karena rasa nyeri itu, ia tersadar.
Air matanya meleleh panas, ketika ia berbisik "Ampunilah saya, Tuhan! Saya terlalu lantang mengajukan permintaan, dan bukannya mencari kehendak-Mu yang terbaik bagi kami. Saya menyesal, Tuhan. Kesejahteraan rohani dan kecintaan keluarga, ternyata jauh lebih nikmat daripada segala kekayaan. Sekarang, Tuhan, biarlah kehendak-Mu saja yang berlaku bagi kami. Saya rela menerima ...."
Diambil dan disunting seperlunya dari: | ||
Judul buku | : | Untaian Mutiara |
Penulis | : | Betsy T. |
Penerbit | : | Gandum Mas, Malang |
Halaman | : | 13 -- 16 |