Berkat dalam Sebuah Duri
Berkat dalam Sebuah Duri
"Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan iblis untuk menghantam aku, supaya aku jangan meninggikan diri. Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan iblis itu mundur dari padaku. Tetapi jawab Tuhan kepadaku, 'Cukuplah anugerah-Ku bagimu, justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.' Sebab itu, aku terlebih suka bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu, aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesukaran karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat." (2 Korintus 12:7-10)
Saya mengawasi rekan kerja saya yang energik melesat menuju kawasan anak-anak. Rasa iri yang tak asing lagi menusuk-nusuk hati saya. Saya mendambakan, sedikit saja kelincahan rekan kerja saya. Mengapa saya terbebani oleh tubuh yang rapuh dan rusak ini? Seandainya saya sehat, saya bisa melakukan lebih banyak hal bagi Tuhan. Sekali lagi saya memohon kesembuhan dari Allah. Sekali lagi Dia berkata, "Tidak."
Duri-duri dari penyakit kronis menusuk saya. Saya menderita bukan hanya karena rasa sakit secara fisik, melainkan juga rasa sakit akibat keterbatasan dan kelemahan saya. Cadangan tenaga saya kerap habis, jauh sebelum satu tugas selesai. Bagi saya, penyakit kronis menghambat kemampuan saya untuk memanfaatkan karunia dan talenta pemberian Allah.
Allah memberi Paulus penglihatan dan wahyu yang sangat luar biasa. Sungguh karunia yang menakjubkan! Ini bisa menjadi godaan untuk meninggikan diri sendiri, bukannya memuliakan Allah. Namun duri Paulus justru "mengempiskan" kecenderungan apa pun untuk menjadi sombong. Memang susah untuk merasa cukup saat kita dilumpuhkan oleh rasa sakit.
Allah tidak mengambil duri Paulus. Alih-alih, Allah mengarahkan kembali fokus Paulus dari duri yang menusuk menjadi berkat karena ia menyadari kuasa Allah dalam kelemahannya. Dengan rendah hati, Paulus menyadari bahwa dirinya yang terkuat adalah saat ia bergantung sepenuhnya kepada Allah. Paulus tidak "bersukacita" di dalam durinya. Ia "bersukacita" dalam kuat kuasa Allah yang ditanamkan di dalam kelemahannya. Paulus mengerti bahwa hidupnya merupakan "penyataan yang hidup dari kuasa Kristus" (2 Korintus 12:9).
Saya senang Paulus tidak menjelaskan durinya secara mendetail. Karena ia tidak menyebutkan secara spesifik, saya dapat melihat kesamaan antara situasi Paulus dan situasi yang saya hadapi. Seperti Paulus, saya cenderung berpikir diri saya sudah merasa cukup. Allah memberi saya talenta dan kemampuan yang unik. Pada "hari baik", saya memerangi godaan untuk bersandar pada sumber daya saya sendiri. Saya memerangi kesombongan yang menyusup ke dalam hati saya.
Tanpa duri berupa penyakit kronis, saya akan kehilangan berkat sehari-hari saat mendekat kepada kuasa Allah. Ketika saya kehabisan sumber daya saya sendiri, duri saya mendorong untuk bersandar kepada kuasa Allah semata. Kita, para penderita sakit, memang tidak memiliki stamina orang sehat. Namun, kuasa Allah yang memampukan kita, justru terlihat jelas di masa-masa terlemah kita. Kita mengalami realitas dari janji Allah ketika Dia berkata, "Kuasa-Ku dapat diperlihatkan dengan jelas di dalam orang yang lemah" (2 Korintus 12:9).
Bapa, terima kasih atas duri berupa penyakit kronis. Tanpa duriku, aku tidak akan pernah mengetahui berkat dari bersandar pada kuasa-Mu. Saat duri menusuk, ingatkan aku bahwa anugerah dan kekuatan dari-Mu itu cukup. Di dalam kelemahanku, kuasa-Mu bersinar paling terang.
"Itulah yang kuusahakan dan kupergumulkan dengan segala tenaga sesuai dengan kuasa-Nya yang bekerja dengan kuat di dalam aku." (Kolose 1:29)
Diambil dari: | ||
Judul asli buku | : | The God of All Comfort |
Judul buku | : | Sakit Tetapi Tidak Terpuruk |
Penulis | : | Judy Gann |
Penerjemah | : | Desiree |
Penerbit | : | Gloria Grafa, Yogyakarta 2009 |
Halaman | : | 47 -- 49 |