Berkat Tuhan, Anakku Sembuh!
Suatu ketika, saya memanggil Melisa (yang pada waktu itu berumur 1 tahun), ia tidak memberikan respons. Melisa diam saja tak bergeming. Kondisi ini lalu saya ceritakan pada teman-teman dan tanggapan mereka sama, "Bu J, cepat periksakan saja Melisa ke dokter THT."
Saya menurut. Satu demi satu dokter THT yang ada di Bogor saya datangi, namun hingga diperiksa empat dokter, kondisi anak saya yang sebenarnya belum juga dapat diketahui. Saya semakin curiga. Karena itu, ketika ada orang menyarankan agar saya membawa Melisa ke Dokter "HH" di Jakarta -- satu-satunya dokter praktik yang memunyai alat canggih untuk tes bisu-tuli yang disebut tes "Bera", saya mengiyakan saja.
Pertama kali mengunjungi tempat praktik Dokter HH, Melisa tidak bisa langsung diperiksa. Dokter bilang, besok kami harus datang lagi dan untuk keperluan tes "Bera" ini, anak saya harus terlebih dahulu menjalani puasa. Esoknya tes berjalan lancar dan 2 hari kemudian hasilnya keluar. Namun ketika hasil tes keluar, saya betul-betul terperanjat. Dokter mengatakan, tes "Bera" anak saya menunjukkan angka 100 decibels, dan ini berarti ia bakal mengalami-bisu tuli total seumur hidup!
Saya gemetar. Dengan spontan saya tanyakan ke dokter, "Dok, kenapa anak saya bisa begini?"
"Ah, kalau Tuhan sudah bikin begitu, mana mungkin bisa sembuh?" kata dokter dengan nada dingin.
Saya terkejut mendengar jawaban dokter. Karena itu saya berkata lagi, "Dokter, apa benar anak saya tidak bisa sembuh?"
"Meski uang Ibu setinggi gunung, tak mungkin ada orang yang bisa menyembuhkan anak Ibu," jawab dokter itu lagi.
Saya tak bisa lagi menahan tangis mendengar jawaban dokter. "Lalu bagaimana, Dokter," ratap saya.
"Dimasukkan saja ke sekolah, Bu, agar nantinya tidak bergantung pada orang lain," jawabnya enteng.
"Dok, anak saya baru berusia setahun. Lalu, bisa disekolahkan di mana?" tanya saya lagi.
"Wah, Bu, sekarang ini sekolah untuk anak bisu dan tuli sudah banyak," kata dokter itu.
Saya langsung pulang dengan perasaan jengkel. Di sepanjang perjalanan saya terus menangis. Tiba di rumah, isak saya semakin menjadi-jadi. Saya guling-guling, menjerit-jerit sambil memprotes Tuhan, "Tuhan, mengapa Kau beri saya cobaan begitu berat? Apa salah saya, Tuhan? Saya toh, tidak jahat kepada orang lain. Mengapa?"
Hari-hari setelah jatuh vonis bahwa Melisa positif tuli, saya sudah tak memedulikan apa pun. Di mana pun ada informasi mengenai orang yang bisa menyembuhkan Melisa, maka saya pun akan mendatangi tempat itu. Saya datang ke tukang urut di Kelapa Gading, Jakarta Utara, yang konon bisa menyembuhkan segala penyakit. Untuk tuli katanya hanya cukup urut 10 kali. Namun, setelah saya coba 10 kali, bahkan sampai 20 kali, ternyata tak ada perubahan apa-apa.
Berikutnya saya datangi ahli urut di Bandung yang memegang lisensi dari Kanada secara berulang-ulang, namun hasilnya nihil. Dalam tayangan sebuah stasiun televisi swasta saya mendengar ada seorang tokoh agama yang bisa menyembuhkan segala penyakit. Dia membuka praktiknya di lapangan terbuka dan saya pun ke sana. Saya ikut antre berdesakan sampai pukul 24.00 agar anak saya bisa dijamah sebagaimana yang dipersyaratkan oleh pengikut si Tabib. Tapi sekali lagi, meskipun segala syarat sudah saya penuhi, hasilnya setali tiga uang: Melisa tetap saja tak mampu mendengar sapaan kami.
Setelah peristiwa itu, kami tetap berusaha. Di mana pun ada orang memberi tahu ada orang sakti, mereka pasti kami datangi. Saya bahkan berkata, "Kalau betul ada orang yang bisa menyembuhkan anak saya, toko kami akan kami jual dan uangnya semua akan saya berikan ke dia. Tidak masalah jika harus memulai lagi usaha dari nol, yang penting anak saya sembuh!"
Karena belum puas terhadap hasil tes "Bera", -- bahkan berharap tes itu salah -- saya pun kembali memeriksakan Melisa ke RS SC. Ternyata hasilnya sama saja: Melisa memang mengidap bisu-tuli total. Walau begitu, saya tetap tak menyerah. Untuk yang kesekian kalinya, Melisa saya bawa lagi ke seorang dokter yang sekaligus ahli tusuk jarum. Saya datang ke sana dan kemudian saya ceritakan kondisi anak saya apa adanya. Setelah saya selesai bicara, dokter itu mengatakan, "Ibu, kalau saya mau terima duit Ibu bisa saja. Namun, karena saya sudah terikat sumpah dokter, saya tidak mau mengambil uang Ibu begitu saja. Coba bawa saja anak Ibu ke RS "P", di sana nanti ada tenaga ahli yang mengajari anak Ibu bicara."
Saya puas dengan penjelasan dokter, sekalipun anak saya tidak diperiksa. Baru kali ini ada dokter yang begitu sejuk kata-katanya, dan hal itu membuat saya mulai bisa menerima keadaan. "Oh, ternyata masih ada orang yang kasihan pada saya," begitu pikir saya. Hari berikutnya saya datang ke RS "P" sebagaimana yang dinasihatkan dokter, tapi setelah anak saya dilihat, lagi-lagi kekecewaan saya tuai. "Wah, anak seperti ini, saya sudah kapok mengajar anak yang seperti ini," begitu kata penguji dari RS "P".
Kini, sudah tak ada lagi sekolah di Bogor yang sanggup menerima anak saya. Maka, mau tidak mau, Melisa harus sekolah "Play Group" di Jakarta. Tahun 1992, Melisa akhirnya diterima di Sekolah SR di Jakarta -- sekolah yang terkenal sangat baik dalam mendidik anak bisu-tuli. Selama 2 tahun, pengantaran Melisa dilakukan secara bergantian. Karena kami melaju, maka kalau saya yang jaga toko, suamilah yang mengantarkan, demikian sebaliknya. Lulus dari SR 1994, Melisa masih belum mampu bicara. Jangankan bicara, tiup lilin saat ulang tahun saja ia tak bisa karena memang tak ada udara yang keluar.
Melihat perkembangan Melisa yang belum juga menunjukkan ada tanda-tanda kemajuan, saya semakin terpacu untuk mencari sekolah yang terbaik agar ia bisa bicara. Kami dengar, SLB PL yang ada di Kembangan, Jakarta Barat, adalah sekolah terbaik di Asia untuk anak-anak seperti Melisa. Sekolah ini selain terkenal sangat baik, juga biayanya sangat mahal. Tapi syukurlah, Bruder kepala terketuk hatinya melihat kesungguhan saya dalam mendampingi Melisa, sehingga anak saya bisa diterima tanpa harus tes dan juga dengan biaya yang jauh di bawah standar yang semestinya.
Di SLB PL, Melisa diajari bicara pakai kaca. Karena metodenya sangat bagus, lama-lama Melisa bisa bicara, sekalipun masih dengan suara dalam. Namun dalam perkembangannya, saya cukup kaget dengan laporan yang diberikan oleh guru Melisa. Ia bilang, kalau Melisa suaranya sudah rusak, pecah, jadi tak bisa diperbaiki. "Aduh, Bu, tolonglah. Masa saya sudah jauh-jauh menyekolahkan anak, sudah habis biaya, waktu, tenaga, dan pikiran tapi tidak ada hasil. Ibu, bagaimana kalau Ibu memberikan les kepada anak saya?" pinta saya. Entah karena terikat oleh etika, Ibu guru itu menolak. Saya bilang, "Kalau memang tidak mau, ya tidak masalah. Saya akan berdoa dan meminta terus sama Tuhan, biar suara Melisa diubah."
Ketika mengalami pergumulan berat sebagaimana yang saya ceritakan di atas, saya sendiri sebenarnya sudah ke gereja. Namun, harus diakui Kristen saya masih Kristen KTP -- fisiknya ke gereja, tapi hidupnya masih mengandalkan kekuatan sendiri. Sementara suami saya, masih belum Kristen.
Tahun 1996, ujian hidup menerpa lagi. Toko kami kebakaran. Saya betul-betul stres. Anak sekolah di Jakarta, toko kebakaran, dapat tempat penampungan tapi diteror. Wah, pokoknya berat sekali. Karena itu, ketika kakak ipar saya mengajak saya untuk hadir di gerejanya, saya pun selalu menolak. Demikian juga saat ia memberitahukan bahwa akan ada ibu-ibu gereja yang datang ke rumah, saya pun sudah bertekad untuk tidak membukakan pintu bagi mereka. Namun, Tuhan memang ajaib. Sekalipun saya sudah bertetap hati untuk menolak mereka, tapi pertemuan yang tak terduga masih dimungkinkan. Ceritanya, waktu saya pulang dari toko, ibu-ibu gereja yang jumlahnya sekitar 4 orang datang. Karena kepepet, sekalipun jengkel, mau tak mau mereka saya persilakan masuk.
Setelah duduk, mereka menanyakan banyak pertanyaan kepada saya. "Sudah kenal Tuhan, belum? Apakah Ibu suka berdoa untuk Melisa?" ujar salah seorang di antaranya, sembari menyebut nama Melisa. Mereka rupanya sudah akrab dengan Melisa karena memang Melisa sering diajak berbakti oleh kakak ipar saya, dan bahkan didoakan oleh hamba-hamba Tuhan di sana. Dengan jengkel pertanyaan itu saya jawab, "Saya sudah kenal Tuhan. Setiap hari saya sudah mendoakan anak saya. Saya sudah putus asa karena Tuhan tidak menjawab doa saya."
"Tapi masalahnya, Tuhan mana yang Ibu sembah?" cecar mereka. "Yah, pokoknya Tuhan." jawab saya. Mereka lalu berdoa untuk saya dan sekaligus mengundang saya untuk datang ke gerejanya. "Cobalah sekali-kali ke gereja, siapa tahu Tuhan jamah," begitu bujuk mereka. Saya sendiri karena sudah putus asa, akhirnya nurut saja.
Hari Minggu saya datang ke gereja bersama kakak ipar. Saya sendiri tidak paham, tapi begitu masuk gedung kebaktian, saya merasakan sesuatu yang belum pernah saya alami. Sepanjang kebaktian, saya menangis di hadapan Tuhan sambil berkata, "Tuhan ampunilah saya. Tuhan mengapa anak saya begini?" Sejak itu saya mulai rutin ke gereja. Lantaran merasa mendapat berkat, saya mengajak suami saya untuk ikut berbakti. "Cobalah kamu datang ke gereja," kata saya. Tetapi saat itu suami saya sedang kalut sehingga ketika saya mengajaknya dia berkata, "Kalau Tuhan memberikan uang sekarang, tidak perlu tunggu besok, sekarang pun saya akan datang ke gereja. Kalau tidak memberikan uang, untuk apa?"
Saya pun terus membujuknya, tapi ia tetap tidak mau datang ke gereja. Suami saya tetap bingung dengan masalahnya. Tokonya kebakaran, dapat kios baru tapi terus-menerus diteror. Toko hendak dijual tak ada yang membeli. Sudah melapor ke pihak keamanan walau ada di pihak yang benar, tetap saja masalah tak bisa selesai. Wah, pokoknya kalut. Lama-lama, karena masalah bertumpuk dan tak ada jalan keluar, suami saya menyadari keterbatasannya. Ia lalu mulai mengingat nasihat saya. Suatu kali, diantar kakak ipar, suami saya pergi ke gereja. Di sana ia bertobat dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya. Yang luar biasa, tiba-tiba kios yang sulit dijual itu langsung laku. Kami sungguh bersyukur atas kebaikan Tuhan ini. Setelah sebulan lebih ke gereja, suami saya bilang, "Saya mau baptis."
Saya masih ragu-ragu karena suami saya baru sebulan pergi ke gereja dan tiba-tiba minta dibaptis. Saya berkata kepada dia, "Kamu jangan baptis dulu, ke gereja tidak dibaptis dulu tidak masalah. Nanti kalau kamu sudah mantap, baru minta baptis." "Tidak! Saya sudah mantap. Saya mau dibaptis," jawab suami saya. Akhirnya, saya dan suami dibaptis, sekaligus dalam kesempatan itu kami melakukan penyerahan anak. Kami juga diteguhkan oleh Firman yang disampaikan oleh hamba-Nya, bahwa jika kami ingin mengalami mukjizat untuk anak kami, maka kami harus terlebih dahulu beriman. Sejak saat itu, saya dan suami tidak pernah lelah berdoa.
Suatu ketika, Tuhan betul-betul mengubah suara Melisa. Teman-teman saya, yang tak lain para orang tua teman Melisa juga heran. Demikian juga guru Melisa tak kalah kagumnya. "Ibu, Melisa les di mana?" tanya guru Melisa pada saya.
"Lho, Melisa tidak les di mana-mana, kok. Waktu itu, Ibu sendiri kan yang tidak mau memberikan les kepada Melisa?" jawab saya. "Tapi, sekarang suara Melisa kok bisa bagus, ya?" tanya guru itu heran.
"Tuhan Bu, yang mengubah suara Melisa. Tuhan dengar doa saya," begitu kata saya sambil bersaksi.
Tidak hanya itu, di gereja Melisa juga pernah diminta untuk bersaksi oleh Bapak Pendeta. Walau suaranya belum jelas betul, tapi ia bisa mengucapkan "Doa Bapa Kami", doa yang secara rutin diajarkan di sekolah Melisa.
Sekarang, saya merasa lebih tenang dan bisa berdoa dengan penuh iman bersama suami. Namun, karena sejak Melisa masuk SLB PL, saya dan suami harus berpisah. Saya kos di Jakarta dan suami di Bogor. Setiap Jumat sore saya baru kembali ke Bogor. Naik bis, bawa anak, bawa barang berdesak-desakan, dan semua ini membuat saya merasa stres. Karena itu, saya selalu berlutut pada Tuhan dan berdoa, "Tuhan, kapan anak saya bisa sekolah normal dan saya bisa bersatu lagi dengan keluarga? Tuhan, saya lelah, saya tidak sanggup."
Mei 1998 Jakarta kerusuhan. Pagi itu, guru-guru mengingatkan pada saya, "Mama Melisa, sebelum pukul 10.00, Anda harus pergi. Kalau sudah pukul 10.00, sangat bahaya. Pokoknya harus pulang dengan cara apa pun!" Tuhan sungguh baik, sekalipun waktu itu tidak ada angkutan yang beroperasi, Tuhan sudah menyediakan orang-orang yang menolong, sehingga saya dan Melisa bisa tiba di Bogor dengan selamat.
Pasca kerusuhan, saya tidak mau lagi membawa Melisa ke Jakarta. Itulah sebabnya, saya berusaha keras untuk mencarikan sekolah umum yang mau menerima Melisa. Ada beberapa sekolah yang kami hubungi, namun mereka menolak. Ada sebuah sekolah yang termasuk sekolah favorit di Bogor, ketika saya datang bersama Melisa, kepala sekolah nampaknya sudah pesimis. Dia bilang, anak saya harus tes dulu. Kami sepakat. Pada hari yang ditentukan, tepat pukul 09.00 Melisa mengerjakan tesnya. Ada 5 orang yang di tes waktu itu. Anehnya, Melisa keluar lebih dulu. Saya sendiri langsung mendatangi Melisa dan langsung saya tanya, "Kamu bisa tidak, Sayang? Kok, yang lain belum keluar?"
"Bisa," jawab Melisa singkat. Ucapan Melisa ternyata benar, ia bisa mengerjakan tesnya dengan nilai yang sangat memuaskan! Guru yang mengujinya juga terkagum-kagum, katanya, "Kamu benar-benar hebat. Saya pikir kamu tidak bisa."
Setelah lolos tes, Melisa langsung duduk di kelas 2. Sekarang Melisa sudah kelas 4. Prestasinya sangat mengagumkan dan selalu masuk urutan lima besar di sekolahnya. Luar biasa. Tentang prestasinya ini, Melisa mengatakan, "Setiap malam Melisa selalu berdoa."
Diambil dan disunting dari:
Judul buku | : | 10 Mukjizat yang Terjadi pada Orang Biasa |
Judul asli artikel | : | Tuhan Buat Anakku Sembuh dari Bisu Tuli dan Berprestasi |
Penulis | : | Basuki, Lasri Yuliana, dan Cacuk Wibisono |
Penerbit | : | Yayasan Cahaya Bagi Negeri Indonesia, Jakarta 2001 |
Halaman | : | 59 -- 67 |