Cinta Kasih Tuhan Kualami di Penjara

Oleh: P.Y. Kwan

Aku dilahirkan pada tahun 1948 di dalam keluarga yang sangat miskin. Orang tuaku terpaksa membanting tulang sejak pagi sampai malam untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Oleh karena kedua orang tuaku tidak di rumah sepanjang hari, aku sudah terbiasa ditinggal seorang diri di rumah sejak aku kecil. Aku mempergunakan kesempatan ini untuk keluyuran di luar rumah dan bergaul dengan anak-anak sebaya yang senasib denganku.

Gambar: Penjara

Karena sebaya dan senasib, di antara kami terjalin persahabatan yang akhirnya mengarah ke pembentukan geng. Kami berjanji untuk sehidup semati, berat sama dipukul, dan ringan sama dijinjing. Aku menjalani kehidupan yang seperti ini karena sejak kecil aku tidak pernah merasakan kehangatan dan cinta kasih di dalam keluarga.

Tugas geng kami adalah mendapatkan kebutuhan sehari-hari dengan menghalalkan segala cara. Kami melakukan tindakan kriminal, mulai kecil-kecilan hingga berkembang menjadi besar.

Pada tahun 1959, yaitu pada saat aku berusia 11 tahun, aku ditangkap dan berulang kali dimasukkan ke panti rehabilitasi. Meskipun sudah berulang kali dimasukkan ke tempat itu, aku tidak sedikit pun merasa malu, bahkan aku merasa bangga. Para anggota geng sepertinya memiliki cara pandang mereka sendiri. Semakin besar kejahatan yang dilakukan oleh anggota geng kami, semakin dihormati pula ia, bahkan ia akan dianggap pahlawan.

Pada tahun 1972, aku melakukan perampokan bersenjata karena ingin dianggap “pahlawan”. Akibatnya, aku ditangkap dan divonis hukuman 5 tahun penjara. Aku tidak peduli meskipun aku dihukum cukup lama. Aku menganggap masa hukuman itu sebagai kesempatan untuk beristirahat.

Gambar: Kesepian

Ketika aku menjalani masa hukuman kali ini terjadi sedikit perubahan dalam diriku. Aku merasakan kesepian dan kehampaan yang sangat mencekam. Aku melihat teman-teman sesama terpidana sering dikunjungi teman dan sanak keluarga mereka, tetapi aku, tidak seorang pun datang menjenguk dan memerhatikan aku sejak aku dipenjarakan. Teman-temanku yang berikrar sehidup dan semati juga tidak pernah muncul dan aku tidak tahu keberadaan mereka sekarang. Jika mereka tidak bisa berkunjung karena suatu halangan aku masih dapat mengerti, tetapi mereka tidak pernah menulis sepucuk surat pun, itu sungguh keterlaluan!

Sekarang, aku baru menyadari bahwa mereka yang dahulu menyebut aku teman seperjuangan yang patut dibanggakan karena keberanianku, ternyata semua pujian itu bohong belaka. Mereka mengatakan semua itu agar dapat memperalatku untuk tujuan mereka.

Selama ini aku yang membanggakan diri sebagai seorang pahlawan, sang pemberani di antara mereka, ternyata sudah tertipu mentah-mentah. Muncul perasaan marah dan dendam di dalam hati. Aku berjanji di dalam diriku bahwa setelah aku menjalani hukuman, aku akan mencari mereka untuk membuat perhitungan.

Sekarang, aku merasakan kehidupan di penjara sangat menggelisahkan dan tidak menyenangkan. Pada suatu hari, seorang sipir penjara memberitahukan bahwa beberapa orang datang untuk bertemu denganku. Setelah mendengar pemberitahuan itu, hatiku bergetar dan bertanya-tanya, siapakah gerangan orang-orang tersebut? Teman-teman gengku? Itu tidak mungkin! Jika itu memang mereka, inilah kesempatanku untuk melampiaskan kemarahanku dengan mencerca mereka habis-habisan.

Tetapi, orang-orang yang mengunjungiku adalah 3 orang yang tidak kukenal: 2 pria dan 1 wanita. Ketiga orang itu bersikap sopan dan kata-kata mereka lemah lembut. Tampaknya mereka adalah orang-orang terpelajar. Kata-kata mereka penuh dengan penghiburan dan membuatku terkesan. Setelah berkenalan, aku baru mengetahui bahwa mereka adalah seorang pendeta, seorang dokter, dan seorang lagi pimpinan gereja. Mereka lalu memberitahukan maksud kedatangan mereka. Ternyata mereka mengenal aku melalui salah satu anggota gengku. Dalam percakapan itu, mereka menjelaskan tentang keberadaan Allah dan dosa. Ketika mereka mengajukan beberapa pertanyaan yang sederhana tentang Allah dan tentang dosa, aku tidak dapat menjawabnya. Akhirnya, mereka memberitahukan tentang kasih Allah yang rela mengurbankan Anak-Nya yang tunggal sebagai pengganti dosa manusia. Sepanjang kita tidak bersedia mengakui dosa di hadapan-Nya, kita tidak mungkin mendapatkan kedamaian.

Gambar: Alkitab

Kata-kata mereka, meskipun begitu sederhana, terasa bagaikan pisau yang menusuk telak ke dalam hatiku. Selama ini, aku tidak mengetahui apa itu kasih, apa itu dosa. Melalui percakapan ini, untuk pertama kalinya sepanjang hidupku aku merasa digerakkan oleh kasih. Aku mengakui bahwa kata-kata mereka memang benar. Meskipun aku sudah bertahun-tahun hidup bergaul dengan banyak teman yang jahat, aku ternyata menjalani kehidupanku dengan rasa takut dan cemas. Tetapi melalui percakapan bersama dengan mereka, aku merasakan kehangatan dan kedamaian yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Oleh sebab itu, aku menerima dengan senang hati ajakan mereka untuk berdoa bersama.

Ketika kami akan berpisah, mereka menghadiahi aku sejilid buku yang berjudul “Injil Masa Kini”. Pada mulanya aku tidak mengerti kegunaan buku tersebut, tetapi lama-kelamaan, melalui hubungan surat-menyurat dengan mereka, akhirnya aku mengerti dan meresapi cinta kasih Tuhan. Hidupku sekarang penuh dengan pengharapan dan kekuatan untuk mengalahkan kejahatan yang senantiasa merongrong hidupku.

Setelah aku selesai menjalani hukuman, teman-teman seiman membantuku untuk memikirkan masa depanku. Aku bisa bersukacita bersama-sama dengan mereka untuk berbakti dan mempelajari firman Tuhan. Dengan perhatian dari saudara seiman, hidup kerohanianku semakin maju. Aku berdoa dengan diam-diam agar Tuhan memimpin masa depanku.

Diambil dan diedit dari:
Judul buku : Jalan Tuhan Terindah
Penulis : Pdt. Paulus Daun, M.Div., Th.M.
Penerbit : Yayasan Daun Family, Manado 1996
Halaman : 95 -- 98

Download Audio

Kategori: 

Tinggalkan Komentar