Dukacita Seorang Janda... Kemuliaan Seorang Martir
Pagi hari, 5 Januari 2004, Pendeta MB bangun subuh. Anak perempuannya yang tertua, E, tidak dapat mengunjunginya pada perayaan Natal. M telah mengatur keberangkatannya dengan kereta api yang akan berangkat menuju Lahore pada pukul 04.00 subuh itu juga, untuk mengunjungi anak dan cucunya.
Pagi itu suasana begitu berbeda, udara begitu dingin dan lembap. Kabut tebal membuatnya begitu sulit untuk melihat. Walaupun kondisinya seperti itu, M berjalan perlahan-lahan turun melalui jalan yang diselimuti kabut tersebut yang mengarahkannya ke stasiun kereta api.
Stasiun kereta api sudah tinggal beberapa blok ketika penyerangnya muncul. Di saat kabut yang menyelimuti, adalah tidak mungkin bagi M untuk melihat para penyerangnya. Dia bahkan tidak mendengar peluru pertama menghantam tubuhnya.
Pada pagi hari saat kabut menghilang, tubuh pendeta M ditemukan bersimbah darah. Di samping mayatnya, ada tas perjalanan miliknya yang berisi baju, beberapa barang pribadi, dan Alkitabnya. Jiwa dan rohnya telah meninggalkan hidup ini karena pendeta MB telah menyelesaikan pertandingannya dan menerima sebuah mahkota martir.
Air mata mengalir turun di pipi wanita yang berumur 45 tahun, PM, pada saat ia mengenang hari-hari terakhir dari kehidupan martir suaminya. Pada saat perwakilan KDP menemuinya, ia menggenggam Alkitab suaminya dengan sangat erat di kedua tangannya, dan menceritakan mengenai suaminya yang telah memulai gereja kecil ini yang berada di kota Khanewal 4 tahun yang lalu.
MB mencintai Tuhan dan ingin membagikan Injil kepada semua orang yang mau mendengar. Dia telah membawa lebih dari 200 orang kepada Kristus selama 17 tahun pelayanannya; dan walaupun gerejanya kecil, pendeta MB memunyai 50 jemaat yang bertumbuh sebagai hasil dari ibadah rutin doa pagi. Setiap ibadah diperdengarkan luas di lingkungannya, yang mayoritas Kristen lewat beberapa pengeras suara yang ditempatkan di atap menara gereja. Orang-orang "agama lain" biasanya memperdengarkan teriakan doa-doa mereka ke jalan-jalan Khanewal, bahkan lima kali sehari. MB berpikir orang-orang Kristen berhak melakukan hal yang sama.
Pendeta yang berumur 50 tahun ini sudah pernah mempelajari kitab suci "agama lain", dan sering berdebat soal iman dan ajaran agama dengan sarjana-sarjana "agama lain". Para pemimpin "agama lain" menjadi tidak puas atas kepopulerannya di antara orang-orang Kristen maupun bukan Kristen.
Sekitar setahun yang lalu, seorang pemimpin "agama lain" datang ke gereja pada saat para wanita sedang mengadakan sekolah minggu bagi anak-anak. Dia meminta mereka menghentikan ibadah sekolah minggu tersebut dan juga tidak lagi melanjutkan pemakaian pengeras suara, karena dianggap mengganggu kemampuan orang-orang "agama lain" dalam mengucapkan doa-doa mereka dengan benar di dalam rumah ibadah mereka. "Kami berusaha untuk menenangkannya, tetapi dia tidak mau mendengar," kata PM. "Dia tetap berteriak-teriak dengan penuh angkara murka kepada kami."
Pendeta MB dipanggil ke kantor polisi setelah orang-orang "agama lain" mengajukan keluhan resmi terhadap gerejanya. Dia diberitahu bahwa pengeras suaranya mengeluarkan suara yang terlalu keras. Pendeta MB meminta maaf, dan mengecilkan volume pengeras suaranya, tetapi tetap berkhotbah dan menyiarkannya melalui pengeras suara. Beberapa hari kemudian, para tua-tua "agama lain" datang ke gereja dan memperingatkan M bahwa ia akan dibunuh jika dia terus memberitakan Injil menggunakan pengeras suaranya. MB tetap melanjutkan penyiarannya. Pihak keluarga dan teman-temannya mengatakan dia tidak takut mati.
Pada hari Minggu, 4 Januari 2004, sehari sebelum pembunuhannya, MB menyampaikan khotbah terakhirnya kepada jemaat Gereja Allah. Dia mendorong anggota gerejanya untuk saling mengasihi satu dengan yang lainnya, rutin berdoa, dan tetap bersatu. "Suatu saat saya mungkin tidak ada di antara kalian dalam waktu yang lama, oleh karena itu, bersatulah, jadilah suatu sidang jemaat yang terdiri dari orang-orang percaya yang setia," kata pendeta MB. Dia mendorong mereka untuk menyebarluaskan Kabar Baik Kristus di Pakistan, sama pada saat gereja mula-mula lakukan setelah kebangkitan Yesus.
Janda PM meminta kepada perwakilan KDP untuk mendesak orang-orang Kristen seluruh dunia untuk berdoa baginya dan keenam anaknya. "Berdoalah agar Allah akan memberikan kepada saya kekuatan untuk menanggung kehilangan suami saya yang tercinta dan artinya juga menggantikan dia memimpin dan menghidupi keluarga ini," katanya. PM bertekad untuk melatih anak laki-laki satu-satunya yang berumur 14 tahun, MM, untuk melanjutkan tugas penginjilan ayahnya di Pakistan. KDP mendorong para pembaca untuk berdoa untuk perlindungan yang datangnya dari atas bagi M. "Agama lain" radikal sudah mengancam untuk membunuh MM, karena dia anak laki-laki tunggal pewaris kegigihan MB dalam menyebarkan Injil.
Ketika suara MB telah membisu pada akhir Januari di hari yang tragis tersebut, KDP berjanji untuk memerhatikan pengikut-pengikut Yesus lainnya, yang menyebarkan injil di Pakistan. KDP menolong PM dan anaknya melalui Program Dana bagi Korban Martir. Kami juga menolong banyak keluarga Pakistan lainnya yang ayah atau suami mereka dibunuh atau dipenjara karena iman mereka.
Penganiayaan Melalui Kebudayaan dan Kelembagaan
Hanya 2 sampai 3 persen dari total 160 juta orang Pakistan adalah orang Kristen. Karena masyarakat Pakistan mayoritas "agama lain", orang Kristen dianggap orang-orang kafir dan tidak mendapatkan hak yang sama. Orang-orang Kristen menghadapi dua macam penganiayaan di Pakistan: kelembagaan dan kebudayaan.
Hukum penghujatan kuno yang dimiliki Pakistan (Hukum No. 295) adalah salah satu contoh dari penganiayaan kelembagaan. Orang-orang Kristen telah mengalami tuduhan-tuduhan palsu atas pelanggaran hukum penghujatan. Orang Kristen yang dipenjara paling lama adalah AM, dikenai hukuman mati karena tuduhan menghujat nabi "agama lain". Pengadilan Tinggi Pakistan akhirnya membebaskannya setelah enam tahun dipenjara. Di antara mereka yang masih ditahan adalah seorang guru, SM. Mereka akan dibebaskan jika mau menjadi "agama lain". Tapi mereka menolak.
Orang-orang Kristen Pakistan juga menghadapi penganiayaan kebudayaan. Seringkali mereka dengan terpaksa harus menerima pekerjaan-pekerjaan yang paling rendah di masyarakat sebagai tukang sapu jalan dan buruh pembuat batu bata. Mereka yang bertobat dari "agama lain" ke Kristen, kadangkala kehilangan pekerjaan, rumah, harta, dan kadangkala nyawa mereka.
Diambil dari: | ||
Nama buletin | : | Kasih Dalam Perbuatan, Edisi Mei - Juni 2004 |
Penerbit | : | Yayasan Kasih Dalam Perbuatan, Surabaya |
Halaman | : | 3 -- 4 |