Lahir Baru

Saya bukan anak yang normal seperti anak lain. Tubuh saya dalam keadaan menggeliat, timpang, dan berubah bentuknya. Dokter pun pernah berkata, "Betty, tidak ada harapan lagi." Saya harus dibawa dari rumah sakit yang satu ke rumah sakit yang lain, dan para dokter spesialis menggelengkan kepala dan berkata, "Dalam hal ini, ilmu kedokteran angkat tangan." Saya dilahirkan dengan tulang belakang yang membengkok. Setiap ruas tulang tidak berada pada tempatnya. Tulang-tulangnya saling menggeliat dan saling melekat. Saraf saya dalam keadaan kacau balau.

Suatu hari, saat saya berada di rumah sakit Akademia di kota Minneapolis, tiba-tiba tubuh saya gemetar dan goncangan itu semakin keras hingga saya terpelanting ke lantai. Hingga akhirnya dokter berkata, "Sekarang ia menderita sakit `kejang-kejang`, dan kami tidak dapat berbuat sesuatu apapun selain mengembalikannya ke rumah." Kemudian para juru rawat mengikat saya ke tempat tidur dengan menggunakan pengikat yang lebar. Ikatan itu tidak dapat menghentikan getaran-getaran tubuh saya, namun dapat mencegah saya jatuh ke lantai. Siang malam saya tetap terikat di tempat tidur dan hanya dilepaskan ketika akan dimandikan oleh juru rawat.

Jika ikatan-ikatan itu dilepas, maka tampaklah bekas-bekasnya yang kemerah-merahan dan luka-luka yang terdapat pada tubuh saya. Saya tahu apa artinya menderita. Saya senantiasa merasa sakit. Dokter senantiasa membius saya agar saya menahan rasa sakit itu. Saat saya lahir, keadaan jantung saya tidak normal dan kini semakin memburuk karena saya terus-menerus diberi suntikan morfin. Akibatnya, saya setiap minggu terkena serangan penyakit jantung. Tubuh saya juga semakin kebal terhadap pembiusan itu. Saya harus menggigit bibir saya agar tidak menjerit kesakitan apabila obat suntik itu tidak berdaya menghilangkan rasa sakit itu. Baru dua atau tiga suntikan diberikan, rasa sakit yang tidak henti-hentinya menyiksa saya, agak mereda.

Dokter menyingkirkan segala sesuatu dari tempat tidur saya, lalu katanya, "Betty, aku menyesal sekali karena aku tak dapat memberi morfin lagi kepadamu. Hanya itulah yang dapat kuperbuat." Pada saat itu saya berusia sembilan tahun. Malam itu begitu panjang. Berkali-kali saya membalikkan diri saya di tempat tidur ketika sedang bergumul agar rasa sakit itu agak reda. Sering saya tak sadarkan diri selama berjam-jam lamanya.

Saya dibesarkan di dalam keluarga Kristen. Sejauh ingatan saya, ibulah yang menceritakan kisah tentang Yesus kepada saya. Ibu percaya akan firman Tuhan dan berkata bahwa Yesus adalah Juru Selamat, Penebus yang sama seperti saat Ia berjalan di tepi Galilea. Dan saat ini, Ia masih tetap menyembuhkan orang-orang sakit asalkan mereka mau memunyai iman kepada-Nya. Kejadian terbesar yang terjadi atas hidup saya bukanlah oleh karena Yesus telah menyembuhkan tubuh saya yang timpang dan menggeliat serta berubah bentuknya, melainkan oleh karena Ia menyelamatkan jiwa saya dari dosa.

Selama Yesus berada di dalam hati saya, maka saya dapat masuk surga sekalipun saya timpang dan bentuk tubuh saya berubah sedemikian rupa sehingga terlihat buruk. Akan tetapi, saya tidak mungkin ke surga jika darah Yesus tidak menyelamatkan saya.

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul buku : Kesembuhan Ilahi yang Diterima Oleh Betty Baxter
Penulis : Betty Baxter
Penerbit : Nafiri Fajar Media Group, Surabaya 2004
Halaman : 7 -- 10
Kategori: 

Tinggalkan Komentar