Melewati Lembah Kekelaman Bersama dengan Tuhan
Sejak di bangku SMU, hidung saya bermasalah -- sering tersumbat. Dokter mengatakan hal itu karena alergi. Akhirnya, saya bosan berobat dan tidak memedulikannya lagi.
Ketika berada di Surabaya (kira-kira tahun 2000), saya mengalami mimisan. Darah yang keluar dari hidung saya cukup banyak. Saya lalu memeriksakan diri ke dokter THT yang cukup terkenal, dan kata dokter tidak ada kelainan. Dokter bahkan tidak memberi obat. Sesudah peristiwa ini, dalam setahun -- 2 kali dalam setahun, saya masih mengalami mimisan.
Pada bulan Maret 2005, saya pergi ke Malaysia. Saya tiba di Malaysia pada malam hari. Keesokan harinya, saya mengalami 2 kali mimisan, yaitu pada pagi hari dan siang hari. Mengingat pada waktu di Surabaya saya sudah pernah periksa ke dokter, dan bila terjadi mimisan saya tidak merasa ada gangguan pada kondisi fisik saya, walaupun istri saya menganjurkan agar saya memeriksakan diri ke dokter, tapi saya merasa tidak perlu ke dokter.
Sekembalinya dari Malaysia saya berkonsultasi dengan dokter keluarga. Dia mencurigai ada kelainan dan menganjurkan agar saya melakukan pemeriksaan darah. Keesokan harinya, saya laksanakan anjuran dokter keluarga kami. Hasil dari pemeriksaan ini baru bisa diketahui tiga minggu kemudian, karena sampel darah saya harus dikirim ke Amerika. Dengan pertimbangan perjalanan yang begitu lama, apakah hasilnya masih akurat? Akhirnya saya membatalkan pemeriksaan tersebut, walaupun sampel darah saya sudah terlanjur diambil. Pertimbangan lain mengapa saya membatalkan pemeriksaan darah ini adalah karena biaya yang cukup mahal, dan saya juga merasa tidak ada sesuatu yang tidak beres dalam diri saya.
Pada bulan September, kami ke Singapura untuk menengok anak kami yang bersekolah di sana. Kami tiba di Singapura Jumat malam dan pada Selasa pagi kami akan kembali ke Jakarta. Pada Sabtu pagi, saya mengalami mimisan lagi dan kejadian ini terulang kembali pada Minggu malam. Saya bertanya dalam hati, "Mengapa baru saja saya tiba di Singapura, tiba-tiba saya langsung mimisan?" "Apakah Tuhan menyuruh saya untuk periksa ke dokter?" Istri saya menganjurkan agar saya periksa ke dokter. Saya pun setuju atas usul istri saya, karena dorongan di hati saya untuk memeriksakan diri ke dokter juga begitu kuat.
Senin pagi, saya periksa ke RS. Mount Elizabeth. Melalui pemeriksaan dengan menggunakan endoskop [teropong untuk memeriksa rongga di dalam pembuluh, saluran, dan liang yang sempit-sempit dalam beberapa bagian tubuh, Red.], dokter menemukan adanya tumor. Ia menganjurkan untuk CT Scan. Kami periksa juga di beberapa dokter di RS. Mount Elizabeth, dan hasilnya sama. Dari hasil CT Scan, terlihat dengan jelas ada tumor sebesar satu ruas jari kelingking (3x1 cm) di belakang rongga hidung dekat mata kiri. Dokter menganjurkan hari Kamis saya harus menjalani operasi melalui lubang hidung untuk mengangkat tumor itu, dan setelah itu akan diperiksa di laboratorium untuk mengetahui jenis tumor itu -- jinak atau ganas. Kalau tumor jinak, kami boleh pulang; tapi kalau tumor itu ganas (kanker), perlu dikemoterapi [pencegahan dan penyembuhan terhadap suatu penyakit, dengan memasukkan bahan kimia ke dalam tubuh, Red.]/Radioterapi [disebut juga terapi radiasi adalah terapi menggunakan radiasi yang bersumber dari energi radioaktif, Red.]. Kami terpaksa setuju dengan saran tersebut. Kemudian dokter memberi surat pengantar untuk keperluan operasi.
Setelah keluar dari ruang dokter, dalam keadaan bingung kami duduk termenung di kursi, di depan lift. Tiba-tiba istri saya ingat Pdt. Andreas -- beliau sering membesuk papa saya waktu papa dirawat di RS. NUH pada tahun 2004. Saya segera menelepon beliau, tapi waktu itu beliau sedang berada di Australia. Beliau menunjuk seorang dokter spesialis ENT Head & Neck Surgery di SGH, Prof. Goh. Kami membuat janji untuk bertemu dengan Prof. Goh pada hari Kamis pagi. Kami lalu kembali lagi ke ruang dokter dan membatalkan jadwal operasi tadi.
Kamis pagi, di SGH, Prof. Goh bersama tim melakukan pemeriksaan dengan teliti dan hasilnya sama, ada tumor. Prof. Goh mengatakan akan melakukan biopsi [pemeriksaan terhadap organisme, organ, atau jaringan yang hidup, Red] untuk mengetahui jenis tumornya dulu. Jumat siang, sekitar pukul 11, saya dibiopsi. Seminggu kemudian, hasilnya: kanker Neuroblastoma [Neoplasma (pertumbuhan jaringan baru yang tidak normal pada tubuh; tumor) ganas pada sistem saraf, Red] dan harus segera dioperasi. Operasi yang sangat besar, memakan waktu yang amat panjang, memerlukan persiapan yang lengkap dan teliti, memerlukan 2 tim dokter, yaitu 1 tim ahli ENT Head & Neck Surgery dan 1 tim ahli bedah saraf. Mula-mula hidung dibelah sampai ke mata, kemudian kulit kepala dibuka lebar supaya tengkorak bisa di gergaji. Setelah tumornya dibersihkan baru dipasang kembali. Menurut dokter, kanker jenis ini tidak terdeteksi melalui darah.
Pada tanggal 21 Oktober 2005, saya dioperasi mulai dari pukul 08.00 dan saya baru sadar sekitar pukul 19.00. Saya lalu dipindahkan ke ruang ICU dengan tangan, kaki, mulut, hidung, dan kepala penuh dengan selang. Lubang hidung dua-duanya disumbat dengan kain kasa, sehingga saya harus bernapas dengan mulut. Hanya 15 menit di ruang ICU, saya dilarikan kembali ke kamar bedah karena pendarahan. Sekali lagi saya dibius dan dipasang ventilator (alat pernapasan). Pukul 21.00, untuk kedua kali, saya dipindahkan lagi ke ICU dalam keadaan tidak sadar. Ketika saya sadar rasanya sakit sekali. Untuk mengurangi rasa sakit itu, saya diberi Morfin [zat yang diekstrasi dari opium dengan proses maserasi opium dalam air. kemudian diendapkan dengan amonia. Digunakan sebagai obat penghilang rasa nyeri dan penenteraman, digunakan dengan takaran besar berkhasiat sebagai obat bius dan bila sering dipakai, takarannya makin lama terpaksa makin diperbanyak sehingga mengakibatkan kecanduan, Red]. Pada hari ke-3, tekanan darah saya tiba-tiba naik di atas 200/120 dan banyak mengeluarkan lendir, mungkin karena penolakan terhadap benda-benda asing yang masuk ke tubuh saya. Ada juga selang yang dimasukkan ke lambung melalui lubang hidung. Pada hari ke-4, sakitnya begitu hebat, sehingga tangan saya dipasangi alat untuk melakukan penyuntikan morfin ke tubuh saya, yang bisa saya lakukan sendiri sesuai kebutuhan. Setelah selesai operasi, saya masih perlu menjalani 35 kali radioterapi.
Sekarang, saya sudah pulih setelah melewati lembah kekelaman bersama Tuhan. Walaupun begitu berat, tapi hari-hari itu adalah hari-hari yang penuh syukur, karena ada Tuhan yang menggendong saya. Tuhan begitu dekat dan saya tahu Tuhan mengasihi saya.
Diambil dari:
Judul buletin | : | Berita YAMARI Edisi 53 -- 2010 |
Penulis | : | Hadi |
Penerbit | : | Yayasan Marturia Indonesia, Jakarta |
Halaman | : | 24 -- 25 |