Merasakan Kasih Natal
Natal merupakan liburan yang paling istimewa bagi ayah saya. Persiapan menjelang Natal, berbelanja hadiah, dan menghias rumah tidak membuatnya lelah - bahkan ia sangat menikmatinya.
Ibu bercerita, ayah memperkenalkan saya dengan pohon Natal saya yang pertama waktu saya masih berusia sembilan hari. Pohon Natal itu kecil, tetapi setiap hiasan, lilin, dan untaian perada perak digantungnya dengan sangat teliti pada tempatnya, seolah-olah hanya ia yang dapat melakukannya. Setelah selesai, ayah mengangkat saya dari keranjang buaian dan menggendong saya supaya melihat hasil pekerjaan tangannya.
Ayah masih menghias empat pohon Natal sesudah itu dan setiap kali pohonnya lebih besar dari tahun sebelumnya.
Pada hari ia meninggal -- tak lama setelah menderita radang paru-paru -- ibu duduk dengan saya membicarakan Natal. "Madeline," katanya lembut, "Sinterklas akan memberikan hadiah untukmu, tetapi kita tidak mempunyai pohon dan hiasannya. Tahun ini pengeluaran kita sudah terlalu banyak."
Besok hari Natal, tetapi sampai pagi ini tidak ada persiapan khusus untuk keesokah harinya, selain kebaktian pagi dan makan malam di rumah salah seorang anggota keluarga. Menjelang sore, telepon berbunyi dan ibu mengangkatnya. Tidak lama kemudian saya mendengar ibu berkata, "Anda baik sekali, tetapi rasanya kami akan melewatkan malam Natal di rumah. Natal ini pertama kali sejak ..." Lalu ibu dapat melanjutkan lagi, berterima kasih kepada penelepon itu sekali lagi dan menutup pembicaraan.
"Siapa Bu?" tanya saya.
"Salah seorang tetangga kita," kata ibu. "Ia mengundang kita malam ini. Ibu ... Ibu tidak bisa."
Ibu diam saja hampir sepanjang hari. Sorenya, ibu berubah pendapat. Ia menelepon tetangga kami, mengatakan kami akan mampir sebentar.
"Dia baik sekali," kata ibu kepada saya, "dan kita tidak mau dianggap tidak menghargainya."
Setelah kami membunyikan bel pintu rumah tetangga kami, nyonya rumah menyambut dan mencium kami, lalu mengantar kami melewati serambi. Ruang tamu kelihatannya gelap, tetapi anehnya ada cahaya yang berwarna-warni. Ia mengajak kami masuk, dan saya melangkah ke dalam ruangan dan terperangah. Di sana, di tengah taburan lampu yang berwarna-warni dan bermacam-macam hiasan, lengkap dengan hadiah-hadiah yang dibungkus dengan kertas wama-warni yang cerah, berdiri sebuah pohon Natal yang indah sekali. Di sekeliling pohon itu duduk Ny. Abrams, Ny. Cohen, Ny. Blount, Ny. Dreyfus, sambil tersenyum lebar. "Selamat datang!" sapa mereka serempak.
Sampai sekarang saya dapat memejamkan mata dan mengingat kisah tersebut dengan jelas. Sering ingatan itu menguatkan saya apabila keadaan memburuk, waktu saya meragukan hati manusia. Saya masih dapat merasakan kasih tetangga kami -- kaum ibu Yahudi yang mengambil risiko untuk melaksanakan tradisi yang tidak mereka kenal supaya seorang anak Kristen yang sudah tidak mempunyai ayah tetap dapat bergembira merayakan Natal.
- Madeline Weatherford
Dipublikasikan | : | http://natal.sabda.org |