Pengantar Kecap yang Jadi Pendeta
Aku lebih dikenal dengan panggilan Ute. Aku dilahirkan sebagai putra ketiga di antara lima bersaudara, di kota udang Cirebon pada 27 Desember 1960.
Karena kesulitan ekonomi keluarga, aku kemudian ikut saudaraku untuk bisa menyelesaikan SMP-ku di BPK Jakarta. Setelah itu, aku langsung bekerja. Dengan berbekal ijazah SMP yang kukantongi, aku memasuki kota Bandung dan bekerja sebagai buruh pengantar. Setiap hari aku berkeliling kota Bandung untuk mengantar barang dengan menggunakan sepeda angin. Bukannya aku tidak ingin melanjutkan sekolah, namun keadaanlah yang membuat diriku kurang memungkinkan untuk bisa meneruskan sekolah.
Pada suatu hari, saat aku sedang berkeliling kota untuk mengantarkan kecap kepada para langgananku, tiba-tiba mataku terpaku pada sebuah poster ukuran folio yang tertempel di dinding sebuah toko. Poster itu berada tepat di dinding tempat aku menyandarkan kereta anginku yang sarat dengan botol-botol kecap yang kubawa. Poster itu membuat hatiku tertarik untuk membacanya, sehingga aku sempat merenung beberapa saat lamanya. Poster tersebut lalu kulepas dari dinding tembok dan kukantongi.
Sepanjang perjalanan, sambil mengayuh pedal sepedaku untuk mengantarkan kecap ke para langganan, pengumuman dalam poster tersebut terus mengganggu pikiranku. Begitu aku menyelesaikan tugas, di tempat pekerjaanku poster itu kubaca kembali. Begitu pula yang kulakukan pada sore dan malam harinya saat aku membaringkan tubuhku yang terasa penat di kamarku yang sempit. Aku berulang kali membaca pengumuman dalam poster yang tadi kuambil. Dan akhirnya, aku pun memutuskan untuk mengikuti lomba baca puisi yang dipublikasikan lewat poster itu.
Setelah mendaftarkan diri di kantor sekretariat panitia lomba, aku kemudian mulai melatih diri untuk membaca puisi sendiri di dalam kamar. Tak ada guru yang membimbing, maklum aku sudah tak bersekolah lagi. Tak ada teman yang bisa mengajari, karena di Bandung ini diriku hanyalah seorang anak rantau yang hidup sebatang kara.
Aku tak pernah bermimpi sama sekali, bahwa lomba baca puisi yang kuikuti karena perbuatan iseng dan hanya mengikuti dorongan hatiku, ternyata akan membuat suatu perubahan hidup bagi masa depanku. Perubahan itu terjadi saat piala kejuaraan Lomba Baca Puisi untuk kelompok pria tingkat SLTA dan Umum se-Kodya Bandung berhasil kuraih. Di atas panggung dan disaksikan pula oleh banyak orang, aku memeluk erat-erat piala pertama yang berhasil kuraih.
Di dalam kamarku yang sempit, aku merenungi kiprah yang telah kulakukan ini, dan yang kemudian menimbulkan rasa percaya diri di hatiku. Di dalam lomba baca puisi itu aku berhasil mengalahkan sederetan para pelajar tingkat SLTA dan mahasiswa, yang kesemuanya masih memiliki status sebagai pelajar. Sedangkan diriku? Hanyalah seorang pengantar kecap!
"Kalau sebagai pengantar kecap saja aku mampu mengalahkan mereka, apakah aku ini juga masih punya kemampuan untuk belajar kembali dan bisa meraih ijazah tingkat SLTA? Apakah aku akan terus saja menjadi pengantar kecap atau kurir barang selama hidupku?" Demikian pertanyaan yang sangat menantang ini terus saja mengusik pikiranku. Terdorong oleh niatku untuk belajar kembali dan menjajal kemampuan diriku, maka aku pun lalu memasuki sekolah malam di SMA YP 17 Bandung. Tiga tahun kulalui tanpa halangan, dan ternyata aku berhasil menyelesaikan studiku dengan baik.
Sementara bersekolah dan bekerja, aku melibatkan diri secara aktif dalam kegiatan pelayanan di gerejaku, menjadi guru sekolah minggu. Pada waktu gereja tersebut membuka kesempatan pemberian beasiswa bagi siswa yang ingin menempuh sekolah teologi, maka tanpa pikir panjang lagi aku pun segera mendaftarkan diri. Dengan bantuan beasiswa gereja, aku kemudian menjadi mahasiswa di Fakultas Teologia Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Yogyakarta. Di universitas ini, aku aktif berorganisasi di berbagai persekutuan pemuda GKI Ngupasan Yogyakarta, dan melakukan orientasi di berbagai gereja yang ada di Jawa Tengah. Aku juga melayani kegiatan rohani antarmahasiswa, termasuk menjadi pengasuh majalah rohani kampusku.
Selama menjadi mahasiswa di Yogyakarta, aku mengembangkan bakat atau talenta yang Tuhan berikan kepadaku. Di samping sebagai redaktur pengasuh di majalah terbitan kampusku, aku juga menulis berbagai artikel lepas, cerita pendek, dan puisi. Aku pun lalu dikenal sebagai seorang cerpenis muda dengan nama UT Saputro. Beberapa kali cerpenku muncul di majalah remaja Gadis yang terbit di Jakarta. Sejumlah cerpenku yang bernapaskan kristiani sering dimuat di majalah khusus rohani. Di samping menulis cerpen, aku juga berhasil memublikasikan dua karya novelet sebagai sisipan bonus khusus sebuah majalah.
Setelah menyelesaikan pendidikan teologi di UKDW, aku kembali ke Bandung dan kini melayani di GKI Maulana Yusuf, Bandung. Dimulai dengan jabatan sebagai vikaris (pembantu dalam jabatan pimpinan gereja), aku kemudian diangkat sebagai tua-tua khusus, dan kini diriku menjadi pendeta dan pelayan penuh di GKI Jalan Maulana Yusuf, Bandung.
Sekarang aku mengalihkan segala talenta yang kuperoleh untuk berdiri di belakang mimbar, menjadi pengkhotbah di jajaran gereja kelompok GKI. Aku juga mengajar di Sekolah Menengah Farmasi BPK Penabur, Bandung. Namun demikian, kegiatan menulisku masih terus juga kulakukan, di antaranya aku menjadi pengisi ruang khotbah Minggu di Harian Pikiran Rakyat Bandung.
Diambil dan disunting dari: | ||
Judul buku | : | Semua Karena Anugerah-Nya |
Penulis | : | Adhy Asmara |
Penerbit | : | Yayasan ANDI, Yogyakarta 1996 |
Halaman | : | 57 -- 62 |