Selamat Tinggal Kenyamanan!
"Mana lebih penting: hidup nyaman dan bahagia atau pergi mencari jiwa yang harus percaya kepada Kristus. Kami tidak mampu menjawab. Tuhanlah yang menjawab bagi kami!"
Kami (H dan E) tiba pada periode yang berat dan nyaris membuat kami meninggalkan panggilan misi ini. Dalam kondisi yang berat, sempat terlontar dalam doa kami: "Mengapa Bapa memanggil kami ke ladang misi? Mengapa begitu berat jalan yang harus kami tempuh dalam persiapan menuju ladang misi ini?"
Januari 2002, kami sudah resmi mengundurkan diri dari gereja dan masuk dalam persiapan untuk pergi ke ladang misi di Tiongkok. Kegiatan-kegiatan persiapan yang kami lakukan sangat berbeda dari kegiatan-kegiatan selama kami melayani di gereja. Salah satu persiapan yang harus dilakukan adalah kami belajar untuk bekerja! Kerja apa? Kami bekerja sebagai sales door to door untuk menawarkan produk makanan ringan. Untuk itu, kami harus keluar masuk dari satu pasar ke pasar lainnya. Bukan hal yang mudah, karena kami tidak terlatih dan tidak memiliki pengalaman berjualan. Kami memiliki pendidikan berkhotbah, pengalaman konseling dengan jemaat, tetapi kami tidak memunyai pengalaman bekerja. Belum lagi kami harus menghadapi pandangan negatif dari orang-orang yang tidak mengerti akan masa persiapan yang harus kami lalui ini. Mereka hanya tahu bahwa kami adalah hamba Tuhan. Mengapa sekarang bekerja sebagai sales? Mengapa harus persiapan kerja? Karena tidak mungkin bisa masuk Tiongkok dengan status hamba Tuhan. Kami harus masuk ke sana sebagai tent maker (sebagai pekerja). Oleh karena itu, kami harus belajar dan mengenal dunia kerja. Selain itu, kami harus bekerja mencukupi kebutuhan kami.
Dengan modal pengalaman kerja yang minim inilah, kami belajar mengenal dunia kerja secara langsung. Bulan Januari 2002, saya mengirimkan barang ke sebuah pasar di Madura. Saya mengantarkan barang masuk ke pasar. Ketika kembali ke tempat parkir, saya melihat satu dus barang telah hilang dicuri orang. Keuntungan penjualan barang kurang lebih Rp. 28.000, namun saya harus mengganti barang yang dicuri itu seharga Rp. 144.000.
Februari 2002, dalam penyeberangan feri dari Tanjung Perak (Surabaya) ke Kamal (Madura), saya dan sepeda motor beserta barang-barang dagangan mendapatkan tempat paling pinggir. Perjalanan lancar dan beberapa saat lagi, feri akan berlabuh di Kamal. Ketika hendak merapat, terjadilah sesuatu yang tidak saya duga. Kapal feri terbentur keras pada pelabuhan. Anda bisa menduga apa yang terjadi? Ya, barang dagangan tercebur satu dus ke laut karena posisi sepeda motor saya paling pinggir.
Maret 2002, barang dagangan yang kami distribusikan di beberapa kios mengalami masalah. Pada awalnya kami merasa senang karena ada satu kios yang memesan barang dalam jumlah besar. Ia membayar sebagian di muka. Kami begitu bersemangat berdagang dengan pemilik kios tersebut. Kami pikir inilah cara Tuhan untuk menghibur kami dalam menjalani hari-hari yang tidak mudah dan penuh air mata. Namun, ternyata impian kami jauh dari kenyataan. Pemilik kios itu menipu kami sebanyak Rp. 1,5 juta. Uang yang sangat besar bagi kami. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan, saya mencoba menagih tetapi ia tidak mau membayarnya. Kerugian demi kerugian kami alami. Ini tidak perlu terjadi kalau kami tidak meninggalkan gereja. Mungkin Anda berpikir, "bukankah kami hamba Tuhan, pasti kuat dan bisa bersyukur meskipun mengalami kerugian terus menerus?" Siapa bilang, kami bergumul dan kami berontak kepada Tuhan. Kami mulai berargumentasi, "Tuhan, kami tidak mau pelayanan misi, namun karena Tuhan yang memanggil, kami taat dan sekarang kami sudah keluar dari gereja, mengapa kami mengalami kerugian dan pergumulan seperti ini? Oh Tuhan ...."
Berhari-hari kami bergumul, menangis, dan tertekan karena pengeluaran uang tetap, tetapi pemasukan yang kami terima berkurang. Beberapa barang yang kami miliki mulai terjual satu demi satu sehingga bisa menutupi biaya hidup kami. Kami juga menjual buku-buku teologia kami yang sekarang sudah mahal harganya. Sebenarnya, semua ini tidak perlu kami alami jika kami tetap melayani di gereja atau lembaga pelayanan lain selain pelayanan misi seperti ini. Hampir setiap malam, E terbangun dari tidurnya dan menangis. Masa-masa itu memang berat dan sering kali terucap pernyataan dari mulut kami, "Tuhan, mengapa begitu berat jalan yang harus kami tempuh dalam persiapan ke ladang misi ini?" Ketika kami mulai berontak dan meragukan panggilan Tuhan, muncul perasaan tidak puas dan membanding-bandingkan dengan orang lain. Hal ini mengganggu kami. Apakah Tuhan segera menjawab? Tidak! Tuhan bertindak seperti yang dilukiskan Raja Daud dalam Mazmur 28:1. Allah seolah-olah tidak peduli, Dia diam. Apakah memang benar demikian? Tidak! Allah diam karena kami terlalu banyak bicara. Allah diam karena kami terlalu banyak berkeluh kesah dan merasa tidak puas.
Dalam masa-masa berat itu, kami diingatkan pada Elia, seorang nabi Allah yang dipakai Allah secara luar biasa. Setelah Elia mengalahkan, bahkan menyembelih nabi-nabi baal (1 Raja-Raja 18:40), dia merasa ketakutan dan tertekan luar biasa oleh gertakan Izebel (1 Raja-Raja 19:3). Mengapa? Karena sehebat-hebatnya Elia, dia tetap manusia biasa. Kami sungguh terkesan dengan respon yang Allah berikan ketika Elia mulai menyerah dan ingin mati saja karena ketakutan. Allah tidak marah atau menghukum Elia. Sebaiknya, Allah memberikan makan kepada Elia. Bisa diterjemahkan dengan pengertian sederhana, Allah merangkul Elia, Allah mau mengerti perasaan dan kondisi Elia. Kami belajar dari pengalaman Elia ini. Mungkin saat ini kami dipakai secara luar biasa oleh Allah, namun sesaat kemudian kami menjadi begitu takut dan khawatir. Kami terharu melihat perlakuan Allah terhadap Elia. Allah mau merangkul dan memulihkan Elia. Allah mengerti bahwa ada saat-saat tertentu di mana jiwa kita tertekan. Allah memedulikan jiwa kita yang tertekan itu.
Kami merasa malu terhadap diri kami sendiri. Baru diberi pergumulan sedikit saja, kami sudah mulai berontak dan berargumentasi dengan Allah. Kami pikir karena kami sudah taat pada panggilan Allah, Allah harus melebarkan dan memudahkan semua jalan di depan kami. Tidak begitu, tugas kami hanyalah taat pada panggilan-Nya. Masalah-masalah yang ada di depan kami adalah tantangan untuk lebih mematangkan dan menguatkan panggilan itu. Selama kami masih bersungut-sungut dan berontak, kami hanya bisa melihat awan gelap di atas kami dan tidak bisa melihat pelangi di atas awan gelap. Sebagaimana Allah mengerti kondisi jiwa Elia yang sedang tertekan, Allah juga mengerti kondisi jiwa kami. Seperti Elia yang dipulihkan dan dirangkul oleh Allah, kami juga diperhatikan dan dipulihkan sehingga kami dikuatkan dan bisa bangkit dari keterpurukan kami.
Diambil dari: | ||
Judul buku | : | Permata di Balik Air Mata |
Penulis | : | Hendra dan Esther |
Penerbit | : | Mitra Pustaka Bandung, 2004 |
Halaman | : | 27 -- 31 |