Seorang Anak Anugerah Tuhan
Seorang Anak Anugerah Tuhan
Hansye Pakaya (47 tahun) adalah seorang pria kelahiran Purworejo, Jawa Tengah. Pada usia 25 tahun, ia berjumpa dengan Wati ketika mereka masih sama-sama belum mengenal Tuhan Yesus secara pribadi. Pertemuan itu meningkat menjadi berpacaran hingga pernikahan pada Maret 1980, di Jakarta. Hansye memasuki bahtera rumah tangga dengan fondasi yang labil karena ia dilahirkan di tengah keluarga berantakan. Wati pun demikian. Selama 2 tahun usia perkawinan mereka yang tidak membuahkan anak telah menciptakan suasana panas di dalam keluarga. Masalah anak sering memicu pertengkaran di antara mereka.
Sementara itu, mereka terus berusaha mendapatkan anak. Mereka telah mendatangi setiap dokter yang ahli. Mereka sudah melakukan apa pun tetapi tidak membuahkan hasil. Namun, pemeriksaan kandungan Wati dengan teropong laparaskopi justru menemukan kelainan pada indung telurnya. Kandungan itu tertutupi dengan suatu selaput yang diduga menyebabkan Wati sulit untuk hamil. Ia tidak seperti wanita normal lain yang bisa mengalami haid sebulan sekali. Wati mengalaminya hanya setahun sekali bahkan pernah tidak sama sekali. Oleh sebab itu, dokter menyarankan tindakan operatif untuk mengupas selaput tersebut. Operasi itu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dalam keadaan itu, mereka merasakan bahwa tidak seorang pun dapat menolong mereka keluar dari masalah ini. Wati selalu cemas mengenai hidupnya. Sebagai seorang wanita, ia merindukan kehadiran seorang buah hati yang menjadi sumber sukacita di dalam rumah tangganya. Kecemasan ini telah menggodanya untuk mencari pertolongan dari seorang dukun ke dukun lainnya. Selain meminta pertolongan dukun, ia juga memeriksakan diri ke dokter untuk mengetahui perkembangan kandungannya. Namun, sayang sekali, semua usaha tersebut tetap tidak membuahkan hasil. Wati kecewa bukan hanya sekali tetapi sudah berkali-kali. Ia merasa tertekan, putus asa, dan tidak tahu harus berbuat apa lagi. Keadaan keluarga itu tidak kunjung membaik. Pertengkaran sengit semakin sering terjadi. Keluarga muda ini nyaris berakhir dengan perceraian. Bahkan sebagai pelarian, Hansye sempat menjalin hubungan dengan seorang wanita, rekannya sekantor selama 1 tahun. Ia juga sering mengunjungi tempat-tempat hiburan untuk bersenang-senang. Bonus THR-nya dihabiskan di meja biliar yang semakin memperlebar jarak antara Hansye dan Wati. Di tengah keputusasaannya, Hansye diundang rekan sekantornya untuk mengikuti sebuah kebaktian. Hansye seorang penganut Kristen KTP (Kristen Tanpa Pertobatan) dan hatinya mulai terusik. Cerita-cerita rekannya tentang Yesus membuatnya ingin mencari kasih Tuhan. Hansye menerima ajakan rekannya untuk mengikuti kebaktian itu, dengan suatu kesadaran yang terasa berbeda. "Di sini aku merasakan sukacita dan damai sejahtera," ungkap hatinya. Ia meresapi setiap kidung pujian dan doa-doa dengan sepenuh hatinya. Pada saat itu, ia sudah mengalami jamahan kuasa Tuhan yang mengalirkan kasih-Nya. Ia pun bertobat pada tahun itu juga, 1984. Sekarang, ia tidak lagi mengalami ketakutan yang ia rasakan selama ini, meskipun sekiranya Tuhan bermaksud tidak akan memberi dia seorang keturunan. Sejak saat itu, ia senantiasa mengikuti kebaktian di gereja meskipun secara sembunyi-sembunyi. Namun akhirnya, istrinya juga mengetahui bahwa hampir setiap Minggu ia beribadah di gereja. Wati kurang senang melihat Hansye aktif ke gereja. Ia berusaha menghalangi Hansye dengan segala cara, misalnya dengan menyembunyikan sepatunya. Namun, Hansye yang telah menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat hidupnya, tidak marah atas perbuatan istrinya.
Akhirnya, meskipun Hansye tidak jadi ke gereja, perubahan pada sikapnya itu membuat Wati heran. Wati mulai berpikir, "Apakah yang terjadi pada suamiku? Apakah yang ia lakukan? Apa yang ia dapatkan di gereja itu? Apakah yang diajarkan gereja sehingga suamiku berubah?" Kemudian, Hansye mengajak Wati untuk menyertai dia pergi ke gereja. Karena Hansye sudah berubah, Wati pun bersedia mengikuti ajakan suaminya. Namun, Wati ternyata berpikiran lain, "Aku akan menguji suamiku." Wati menganggap bahwa apa pun yang didengarnya di gereja tidak akan bisa memengaruhi dirinya. Selama di gereja itu, ia selalu berusaha memengaruhi suaminya agar tidak memercayai setiap kata-kata sang pengkhotbah. "Bohong, itu bohong," demikian selalu kata Wati. Namun pada suatu hari, pemberitaan firman Tuhan tentang kebaikan dan kasih Tuhan telah menjamah dan meluluhkan hati Wati. Ia dapat merasakan betapa Tuhan sangat mengasihi dirinya, bahkan Ia rela menyerahkan hidup-Nya untuk Wati. Pada saat itu, Wati menyerahkan hidupnya kepada Tuhan. Ia berdoa dengan berlinangan air mata, "Tuhan, saya mohon pengampunan-Mu atas dosa-dosa yang saya telah lakukan. Saat ini saya bersedia menerima apa pun yang Tuhan berikan kepadaku. Dalam nama Yesus. Amin." Sejak saat itu, Hansye dan Wati mengalami kehidupan baru di dalam Tuhan. Mereka menyerahkan segala kerinduan akan seorang buah hati kepada Tuhan. Kecemasan yang melanda jiwa Wati selama ini telah terobati. Ia tidak lagi takut menghadapi kelainan pada kandungannya. Mereka telah mengubur masa lalu itu dalam-dalam. Setelah pertobatan itu, keduanya justru tidak pernah lagi berusaha mendapatkan anak, tidak berkunjung ke dokter, apalagi pergi ke dukun. Mereka tidak lagi takut jikalau Tuhan tidak bermaksud memberikan mereka seorang anak. Iman dan perbuatan mereka berjalan berdampingan. Hansye dan Wati sekarang sudah yakin. "Dalam keadaan ini kita harus beriman bahwa Tuhan sanggup mengadakan mukjizat pada kandunganmu," ungkap Hansye kepada istrinya. Mereka terus menjalani kehidupan dengan damai sejahtera. Seiring pergantian hari, Tuhan tidak melupakan pekerjaan tangan-Nya. Ia menyertai kedua pasangan ini untuk masuk ke dalam rencana-Nya yang indah. Hansye dan Wati dilibatkan dalam berbagai kegiatan pelayanan. Pada suatu hari, Wati melayani orang-orang yang memunyai masalah seperti dirinya. Wati hanya bisa berserah dan berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, aku bersedia menjadi saksi-Mu. Tetapi, bagaimana aku bisa bersaksi jikalau kami belum pernah mengalami punya seorang anak? Tuhan, aku meminta Engkau mengadakan mukjizat di dalam kehidupan rumah tangga kami. Janganlah permalukan hamba-Mu ini, Tuhan." Setelah beberapa tahun menantikan kehadiran anak, akhirnya mereka berserah kembali di dalam doa, "Tuhan, jikalau Engkau tidak memberikan anak, itu tidak mengapa. Kami akan mengangkat seorang anak sebelum kami pindah rumah." Mereka berharap akan sudah memiliki seorang anak angkat sehingga para tetangga mereka yang baru tidak akan mengetahui asal usul anak itu. Mereka merasa iba jikalau anak itu kelak harus bergumul dengan asal-usulnya. Tuhan selalu bertindak tepat sesuai waktu-Nya. Ia tidak pernah terlambat atau terlalu cepat menyatakan mukjizat-Nya kepada mereka yang percaya. Pada saat Hansye dan Wati berniat untuk mengangkat seorang anak, Tuhan melakukan sesuatu. Sekitar tiga bulan setelah mereka berdoa dan bersiap-siap untuk pindah, Tuhan melakukan sesuatu pada kandungan Wati. Pada saat itu, mereka tidak menyadari pekerjaan Tuhan sedang terjadi di tengah mereka. Perut Wati tampak semakin membesar tanpa ia menyadari apa yang sedang terjadi pada dirinya. "Ada apa dengan perutku," pikirnya. "Jika aku hamil, mengapa aku tidak merasakan mual-mual, pusing, ataupun mengidam seperti layaknya seorang wanita hamil?" Penantian yang begitu lama telah membuat mereka trauma untuk mengunjungi dokter kandungan, khususnya Wati yang enggan memeriksakan diri ke dokter. Namun, Hansye sempat mengetahui terdapat tempat praktik dokter kandungan ketika ia mengendarai mobil dari tempatnya bekerja. Tanpa berpikir panjang dan tidak menunggu persetujuan istrinya, ia segera mengarahkan mobilnya untuk memeriksakan keadaan istrinya di sana. Akhirnya, meskipun dengan agak terpaksa, Wati bersedia diperiksa dokter kandungan tersebut. "Dokter, saya merasakan sesuatu yang aneh di dalam perut saya. Mengapa bentuk permukaan perut saya tampak lain? Saya tidak mengetahui apakah tanda-tanda seorang sedang hamil," ungkapnya kepada sang dokter dengan penuh rasa ingin tahu. Setelah ia diperiksa, dokter mengatakan, "Jika seperti ini, ada dua kemungkinan, kalau bukan tumor kandungan, ya kehamilan." Menanggapi diagnosis itu, Hansye dan Wati hanya bisa berdoa dan berserah kepada Tuhan. Jika hasilnya tumor, itu tentu saja tidak pernah mereka harapkan. Namun, jika hasilnya Wati positif hamil, tentu saja ini merupakan kabar yang sangat menggembirakan mereka. Namun, pengalaman menyedihkan setelah sekian lama membuat mereka tidak berani terlalu berharap kehadiran seorang anak. Pada keesokan harinya mereka datang kembali untuk mengetahui hasil pemeriksaan itu. Keduanya duduk di deretan kursi ruang praktik dokter, menunggu giliran dipanggil dengan perasaan tegang. Pertanyaan: "bagaimanakah hasilnya?" senantiasa terngiang di telinga masing-masing. Suara seorang suster mengejutkan mereka, "Ibu Wati Pakaya!" "Ya, saya!" jawab Wati dengan harap-harap cemas. Wati dan Hansye segera masuk ke ruang dokter. Wati melangkah masuk sambil berdoa, "Tuhan, aku percaya kepada-Mu, apa pun yang Engkau berikan, pasti yang terbaik bagiku." "Silahkan duduk!" dokter mempersilakan mereka duduk. "Terima kasih, Dokter. Bagaimana hasilnya, Dokter?" tanya mereka dengan harap-harap cemas. Dengan tenang dokter menginformasikan hasil USG itu, "Sekarang Bapak dan Ibu harus bersyukur. Yang berada di dalam kandungan bukan tumor, tetapi seorang bayi. Ibu Wati telah mengandung 3,5 bulan." Kata-kata itu bagaikan hujan di tengah kemarau panjang. Keduanya menangis haru dan mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan. "Terima kasih, Tuhan. Engkau sungguh Allah yang berkuasa. Engkau tidak pernah melalaikan janji-Mu kepada kami." Mereka begitu merasakan kuasa Tuhan. Kasih Tuhan Yesus sungguh besar. Mereka pun pulang dengan penuh sukacita. Sepanjang 6 bulan berikutnya mereka tidak berhenti berdoa agar Tuhan memelihara kehamilan itu. Mereka menyadari tantangan masa kehamilan itu mengingat keadaan Wati yang sudah cukup berumur, usia di atas 30 tahun. Kehamilan itu cukup berisiko tinggi, mengingat tekanan darah Wati juga sangat tinggi. Mereka melalui hari-hari penantian itu dengan penuh sukacita. Tuhan senantiasa menyatakan kasih-Nya kepada keluarga ini. Hansye dan Wati sangat merindukan seorang keturunan, yang bukan hanya menjadi berkat bagi keluarga ini, tetapi juga menjadi berkat bagi banyak orang. Oleh sebab itu, mereka selalu mendoakan anak itu sejak ia masih dalam kandungan. Ketika mereka menanyakan nama untuk anak itu, mereka beroleh pernyataan dari Tuhan bahwa nama anak itu ialah Mikha. Dalam kitab Perjanjian Lama, Mikha seorang nabi yang memberitakan kepada bangsa Israel bahwa Tuhan adalah Allah Pengasih, namun Ia juga sangat membenci dosa. Ia juga memberitakan anugerah pemulihan dari Tuhan bagi bangsa itu. Pemberian nama ini diteguhkan seorang penatua gereja setempat, yang juga mendapatkan pernyataan sama dari Tuhan mengenai nama anak itu. Pada pagi hari 2 September 1988, ketika usia kandungan Wati sudah mencapai 8,5 bulan, Hansye kembali mengantarkan Wati ke rumah sakit dalam rangka pemeriksaan kandungan. Namun tanpa diduga sebelumnya, karena keadaan kandungan Wati, ia diharuskan untuk segera menjalani operasi untuk mengeluarkan bayi. Dokter mengatakan, "Bayi di dalam perut Ibu harus segera dilahirkan, sebab jika menunggu, ketuban yang airnya mulai mengering bisa pecah dan jika ini terjadi bisa sangat membahayakan bayi Ibu." Padahal, mereka berharap bayi itu bisa dilahirkan dengan prosedur normal tanpa operasi. Pada saat itu, seorang suster juga menyarankan agar Wati segera menjalani operasi. Akhirnya, Hansye menerima, "Ya, baiklah, jika Tuhan memang menghendaki operasi ini," ungkapnya dengan penuh penyerahan kepada Tuhan. Setelah persiapan segala sesuatu dengan cukup cepat dan kesehatan Wati dianggap siap secara medis, operasi itu pun segera dilaksanakan. Hari itu merupakan peristiwa bersejarah bagi pasangan ini. Wati dibawa masuk ke ruangan operasi pada pukul 09.00. Ia merasa tegang bercampur bahagia karena akan segera dapat memeluk buah hatinya. Ia akan mencurahkan segala perhatian dan kasih sayangnya kepadanya. Sementara itu, Hansye tak kalah tegang menunggu di luar ruang operasi. Namun, hatinya meluap dengan sukacita karena anak mereka, yang kehadirannya sudah mereka tunggu selama bertahun-tahun akan segera dilahirkan pada hari itu. Akhirnya, pada tanggal 2 September 1988, sekitar pukul 11.00, dokter keluar dari ruang operasi dan memberitakan kabar yang luar biasa indah kepadanya. "Pak Hansye, selamat! Anak laki-laki Bapak telah lahir dengan selamat. Istri Bapak juga selamat!" kata dokter sambil menjabat tangan Hansye. Hansye sangat bersukacita mendengar berita itu. Ia segera menaikkan rasa syukur dan pujiannya kepada Tuhan. Sesungguhnya, meskipun mereka tidak merencanakannya, ia percaya bahwa Tuhan sudah menetapkan waktu yang terbaik untuk mereka. Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi orang yang mengasihi Allah dan terpanggil sesuai dengan rencana-Nya. Beberapa saat kemudian, Wati keluar dari ruang operasi itu, masih dipengaruhi efek anestesi. Hansye melihat sukacita terpancar di wajah istri yang dikasihinya. Wati masih harus dirawat selama seminggu setelah melalui saat-saat yang kritis itu. Mikha kini telah hadir di tengah keluarga itu, yang mereka percayai sebagai berkat Tuhan bagi mereka. Mikha menjadi tumpuan kasih sayang mereka dan akan menjadi alat Tuhan untuk memberitakan kasih dan keadilan Tuhan kepada banyak orang. Mereka menyadari bahwa Allah sungguh berkuasa memberikan seorang anak yang bagi manusia tidak mungkin. Wati yang diketahui memiliki kelainan kandungan, kini telah melahirkan anak kandung mereka sendiri. Tanda-tanda bekas jahitan itu telah membuktikan bahwa Allah berkuasa membuka selaput kandungan itu tanpa tindakan operasi.
Tuhan sudah mengadakan mukjizat dan Ia juga telah memulihkan keluarga yang semula hancur ini. Allah sudah menganugerahkan seorang anak dengan cara yang unik. Oleh sebab itu, mereka tidak putus-putusnya mengucap syukur dan memercayakan hidup mereka kepada Tuhan. Kini, Hansye melayani di Yayasan Abbalove Ministry, di bagian yang menangani produksi kaset-kaset khotbah untuk didistribusikan ke toko-toko dan gereja-gereja lokal. Wati juga melayani Tuhan bersama sang suami di yayasan yang sama. Sedangkan Mikha sudah bertumbuh menjadi seorang remaja pencinta Tuhan; ia aktif dalam pelayanan di gereja. Pada saat ini, ia bersekolah di SMP Tunas Bangsa Sunter, Jakarta. Keluarga ini aktif bersama-sama melayani Tuhan di sebuah gereja lokal di Jakarta. Tuhan sudah menempatkan mereka sebagai saluran berkat-Nya bagi orang-orang yang membutuhkan jamahan kasih Tuhan dalam hidup mereka.
|