Tuhan Yesus Adalah Allah yang Kupercaya
Salam kasih dalam Kristus,
Perkenalkan nama saya Handa Febrian Prakoso, tetapi orang-orang biasa memanggil saya Rian. Saya adalah mahasiswa semester tujuh pada salah satu universitas Kristen swasta di kota Salatiga. Kali ini, saya akan bercerita pengalaman pribadi ketika saya memutuskan untuk menjadi murid Kristus dalam hidup saya. Banyak orang menganggap hal demikian adalah pengalaman hidup yang paling indah. Ya, saya juga merasakannya. Pada saat saya dengan sendirinya ingin mengikut Kristus sebagai Juru Selamat, saya merasakan damai sejahtera, sukacita, dan bangga. Selain itu, saya juga siap untuk “pikul salib” ketika menjadi orang yang percaya kepada-Nya. Ah, tidak masalah!
Awalnya, ketika saya duduk di kelas dua sekolah dasar, saya memiliki keyakinan di luar iman kepada Tuhan Yesus. Saat itu, saya adalah anak yang rajin mengikuti kegiatan pendalaman kitab agama saya, dan juga taat untuk beribadah lima kali sehari dipimpin oleh ayah saya. Pada hari besar pun, saya juga merayakannya dengan sukacita, tetapi hanya sukacita anak SD yang mendapatkan uang banyak, bukan karena makna dari hari besar itu. Lain cerita yang saya alami ketika saya mengikuti tes tertulis untuk mata pelajaran agama. Ketika kelas satu SD, nilai yang saya peroleh selalu tidak lebih dari angka lima, entah apa penyebabnya. Padahal jika diingat-ingat, saya adalah anak yang rajin hadir dalam kegiatan pendalaman kitab agama saya sehingga paling tidak saya seharusnya mampu menjawab beberapa pertanyaan yang ada. Namun, itu tidak terjadi, dan hal ini terjadi hingga saya duduk di kelas dua SD.
Kelas dua SD adalah titik awal ketika saya menjadi orang percaya. Kejadiannya sama ketika saya mengikuti tes pendidikan agama, tetapi hal yang terjadi justru lebih buruk pada saat itu. Setelah mendapatkan lembar soal, saya merasa tidak mengerti satu soal pun yang ada, dan semua yang tertulis pada lembar itu menjadi hal yang asing buat saya. Dengan pola pikir polos anak SD yang tidak mau kehilangan nilai agamanya, saya maju ke meja guru dan mengatakan bahwa saya tidak bisa mengerjakan soal agama saya. Saya ingin mengerjakan soal agama Kristen saja. Tidak masalah bagi saya jika harus membayar ongkos ganti untuk fotokopi lembar soal. Bisa dilihat dalam peristiwa tersebut bahwa saya, sebagai seorang anak kelas 2 SD, sudah memiliki pemikiran yang sebenarnya jarang sekali untuk anak seusia saya. Istilah dalam bahasa sekarang ini, saya merasa saya tidak mempunyai passion dalam memeluk agama itu. Saya tidak tahu fungsi pendalaman kitab yang dengan rutin saya ikuti, saya tidak paham akan doa yang saya lakukan lima kali dalam sehari itu. Intinya, saya tidak bisa mendapatkan hal apa pun ketika saya memeluk agama itu. Bisa saya katakan, saya memiliki kepercayaan yang salah.
Ketika sampai rumah, saya menceritakan hal ini kepada ibu saya, yang berbeda keyakinan dengan saya dan ayah. Setelah itu, ketika saya duduk di bangku kelas tiga SD, saya diikutkan dalam ibadah sekolah minggu. Dan, mulai dari situlah, saya benar-benar merasakan “klop” untuk menjalani agama yang akan saya peluk. Kemudian, banyak sekali hal yang terjadi, banyak proses suka dan duka yang saya lalui sampai sekarang saya berusia 20 tahun ini. Tujuh belas tahun, dan untuk selamanya saya akan menjadi murid Yesus. Sungguh merupakan suatu kebanggaan bagi saya. Tuhan Yesus memberkati!
“Yesus berkata kepadanya, “Akulah jalan, dan kebenaran, dan kehidupan. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.”
(Yohanes 14:6, AYT)